Rabu, 13 Januari 2010

SEJARAH PERGURUAN PERISAI DIRI

Perisai Diri merupakan salah satu organisasi beladiri yang menjadi anggota IPSI, induk olahraga resmi pencak silat di Indonesia di bawah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia). Perisai Diri menjadi salah satu dari sepuluh perguruan silat yang mendapat predikat Perguruan Historis karena mempunyai peran besar dalam sejarah terbentuk dan berkembangnya IPSI.

Teknik silat Perisai Diri mengandung unsur 156 aliran silat dari berbagai daerah di Indonesia ditambah dengan aliran Shaolin (shauw liem) dari Tiongkok. Pesilat diajarkan teknik beladiri yang efektif dan efisien, baik tangan kosong maupun dengan senjata. Metode praktis dalam Perisai Diri adalah latihan serang hindar yang mana menghasilkan motto "Pandai Silat Tanpa Cedera".

Sejarah Perisai Diri
Pada tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan kraton Pakoe Alam di Yogyakarta lahirlah seorang putra dari RM Pakoesoedirjo yang diberi nama RM Soebandiman Dirdjoatmodjo (panggilan akrab=pak dirjo), ia adalah putra pertama RM Pakoesoedirdjo (buyut dari Pakoe Alam II). Sejak berusia 9 tahun ia telah dapat menguasai ilmu pencak silat yang ada dilingkungan keraton sehingga mendapat kepercayaan untuk melatih teman-temannya dilingkungan daerah Pakoe Alaman. Disamping pencak silat ia juga belajar menari di istana Pakoe Alam sehingga berteman dengan Wasi dan Bagong Kusudiardjo.

Pak Dirdjo yang pada masa kecilnya dipanggil dengan nama Soebandiman atau Bandiman oleh teman-temannya ini merasa belum puas dengan ilmu silat yang telah didapatnya di lingkungan keraton/ istana Pakoe Alam itu. Karena ingin meningkatkan ilmu silatnya, pada tahun 1903 setamat HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool0 atau sekolah menengah pendidikan guru setingkat SMP, ia meninggalkan Yogyakarta untuk merantau tanpa membawa bekal apapun dengan berjalan kaki. Tempat yang dikunjungi pertama adalah Jombang, Jawa Timur.

Disana ia belajar silat pada Hasan Basri, sedangkan pengetahuan agama dan lainya diperoleh dari pondok pesantren Tebuireng. Disamping belajar, ia juga bekerja di pabrik gula Peterongan untuk membiayai keperluan hidupnya. Setelah menjalani gemblengan keras dengan lancar dan dirasa cukup, ia kembali ke barat dan sampailah di Solo. Ia belajar silat pada Sayid Sahab di Solo, ia juga belajar kanuragan pada kakeknya Ki Jogosurasmo.

Ia masih belum merasa puas untuk menambah ilmu silatnya. Tujuan berikutnya adalah Semarang, disana ia belajar silat pada Soegito dari aliran Setia Saudara. Dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kanuragan di pondok Randu Gunting Semarang. Rasa ingin tahu yang besar pada ilmu beladiri menjadikanya masih belum juga puas dengan apa yang telah ia miliki. Dari sana ia menuju Cirebon setelah singgah terlebih dahulu di Kuningan. Disana ia belajar ilmu silat dan kanuragan dengan tidak bosan-bosanya selalu menimba ilmu dari berbagai guru. Selain itu beliau juga belajar silat Minangkabau dan Aceh.

Tekadnya untuk menggabungkan dan mengolah berbagai ilmu yang dipelajarinya membuatnya tidak bosan menimba ilmu. Berpindah guru baginya berarti mempelajari hal baru dan menambah ilmu yang dirasakannya kurang. Ia yakin bila segala sesuatu dikerjakan dengan baik dan didasari niat yang baik, maka Tuhan akan menuntun untuk mencapai cita-citanya. Iapun mulai meramu ilmu silatnya sendiri. Pak Dirjo lalu menetap di Parakan, Banyumas. Pada tahun 1936 membuka perkumpulan pencak silat dengan nama Eka Kalbu yang berarti Satu Hati.

Di tengah kesibukannya melatih, ia bertemu dengan seorang pendekar Tionghoa yang beraliran beladiri Siauw Liem Sie (Shaolinshi), namanya adalah Yap Kie San. Yap Kie San adalah salah seorang cucu murid Louw Djing Tie dari Hook Tik Tjay. Menurut catatan sejara, Louw Djing Tie merupakan seorang pendekar legendaris dalam dunia persilatan, baik di Tiongkok maupun di Indonesia, dan salah satu tokoh utama pembawa beladiri kungfu dari Tiongkok ke Indonesia. Dalam dunia persilatan, Louw Djing Tie dijuluki sebagai "Si Garuda Emas dari Siauw Liem Pay. Saat ini murid-murid penerus Louw Djing Tie di Indonesia mendirikan perguruan kungfu Garuda Emas.

Bagi pak Dirdjo menuntut ilmu tidak memandang usia dan suku bangsa, lalu ia pun mempelajari ilmu beladiri yang berasal dari biara Siauw Liem (Shaolin) ini dari Yap Kie San selama 14 tahun. Ia diterima sebagai murid bukan dengan cara biasa tetapi melalui pertarungan persahabatan dengan murid Yap Kie San. Melihat bakat pak Dirdjo, Yap Kie San tergerak hatinya untuk menerimanya sebagai murid.

Berbagai cobaan dan gemblengan beliau jalani dengan tekun sampai akhirnya berhasil mencapai puncak latihan ilmu dari Yap Kie San. Murid Yap Kie San yang sanggup bertahan hanya 6 orang, diantaranya ada dua orang bukan orang Tionghoa, yaitu pak Dirdjo dan R Brotosoetardjo yang di kemudian hari mendirikan perguruan silat Bima (Budaya Indonesia Mataram). Dengan bekal yang telah diperoleh selama merantau dan digabungkan dengan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang diterima dari Yap Kie San, pak Dirdjo mulai merumuskan ilmu yang telah dikuasainya itu.

Setelah puas merantau, ia kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Ki Hajar Dewantoro (bapak pendidikan) yang masih pakdenya meminta pak Dirdjo melatih di lingkungan perguruan Taman Siswadi Wirogunan. Di tengah kesibukannya mengajar silat di Taman Siswa, pak Dirdjo mendapat pekerjaan sebagai Magazie Meester di pabrik gula Plered.

Pada tahun 1947 di Yogyakarta pak Dirdjo diangkat menjadi pegawai negeri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan seksi Pencak Silat yang dikepalai oleh Mochammad Djoemali. Dengan tekad mengembangkan silat, ia mengajar di Himpunan Siswa Budaya (sebuah unit kegiatan mahasiswa UGM/Universitas Gajah Mada. Murid-muridnya adalah para mahasiswa UGM pada awal-awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya. Beberapa murid pak Dirdjo saat itu diantaranya adalah IR Dalmono yang kini berada di Rusia, Prof Dr Suyono Hadi (dosen Universitas Padjajaran Bandung), dan Bambang Mujiono Probokusumo yang di kalangan pencak silat di kenal dengan nama panggilan Mas Siwuk.

Tahun 1954 pak Dirdjo diperbantukan ke Kantor Kebudayaan Propinsi Jawa Timur di Surabaya. Murid-muridnya di Yogyakarta baik yang berlatih di UGM maupun yang diluar UGM bergabung menjadi satu dalam wadah HPPSI (Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia) yang diketuai oleh IR Dalmono.Tahun 1955 ia resmi pindah dinas ke kota Surabaya. Di sanalah ia dengan dibantu oleh Imam Ramelan mendirikan kursus silat Perisai Diri pada tanggal 2 Juli 1955.

Para muridnya di Yogyakarta kemudian menyesuaikan diri menamakan himpunan mereka sebagai silat Peerisai Diri. Disisi lain murid-murid perguruan silat Eka Kalbu yang pernah didirikan oleh pak Dirdjo masih berhubungan dengannya. Mereka tersebar di kawasan Banyumas, Purworejo dan Yogyakarta. Hanya saja perguruan ini kemudian memang tidak berkembang namun melebur dengan sendirinya ke Perisai Diri, sama seperti HPPSI di Yogyakarta. Satu guru menjadikan peleburan perguruan ini menjadi mudah. Murid-murid pak Dirdjo sebelum nama Perisai Diri muncul hingga kini banyak yang masih hidup. Usia mereka berkisar antara 65 tahun hingga 70 tahun lebih dan masih bisa dijumpai di Kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.

Pengalaman yang diperoleh selama pengembaraanya dan ilmu silat Siauw Liem Sie yang dikuasainya kemudian dicurahkannya dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan motto "Pandai silat tanpa cedera", Perisai Diri di terima oleh berbagai lapisan masyarakat untuk dipelajari sebagai ilmu beladiri.

Pada tahun 1969 Dr Suparjono SH MSi (yang saat ini menjabat sebagai ketua dewan pendekar) menjadi staf Bidang Musyawarah PB PON VII di Surabaya. Dengan inspirasi dari AD?ART organisasi-organisasi di KONI Pusat yang sudah ada, Suparjono bersama Bambang Mujiono Probokusumo, Totok Sumartono, Mondo Satrio dan anggota Dewan Pendekar lainnya pada tahun 1970 menyusun AD/ART Perisai Diri dan nama lengkap organisasi Perisai Diri disetujui menjadi Keluarga Silat Nasional Indonesia PERISAI DIRI yang disingkat Kelatnas Indonesia PERISAI DIRI. Dimusyawarahkan juga mengenai pakaian seragam silat Perisai Diri yang baku, yang tadinya berwarna hitam dirubah menjadi putih dengan atribut tingkatan yang berubah beberapa kali hingga terakhir seperti yang dipakai saat ini. Lambang Perisai Diri juga dibuat dari hasil usulan Suparjono, Both Sudargo dan Bambang Priyokuncoro yang kemudian disempurnakan dan dilengkapi oleh pak Dirdjo.

Tanggal 9 Mei 1983 RM Soebandiman Dirdjoatmodjo meninggal dunia. Tanggung jawab untuk melanjutkan teknik dan pelatihan silat Perisai Diri beralih kepada para murid-muridnya yang kini telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan beberapa negara di Eropa, Amerika dan Australia. Dengan di bawah koordinasi Ir Nanang Soemindarto sebagai ketua umum Perisai Diri pusat, saat ini Kelatnas Indonesia PERISAI DIRI memiliki cabang hampir di setiap provinsi di Indonesia serta memiliki komisariat di 10 negara lain. Untuk mengahargai jasanya pada tahun 1986 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pendekar Purna Utama bagi RM Soebandiman Dirdjoatmodjo.

3 komentar:

  1. blog ini akan melejit jika optimasi literatur sejarah bisa dilakukan dengan baik dan konsisten

    BalasHapus
  2. makasih atas masukannya mas, mohon bimbingannya ya

    BalasHapus
  3. asalamualaikumm,saya mau tanya perguruan perisai diri di jawatengah dimana sja ya kabupaten atau kotanya karena di kab.kebumen tidak ada.terimakasih

    BalasHapus

Silahkan berkomentar dengan kata-kata sopan dan tidak melanggar SARA